Rutinitas minggu pagi adalah jalan kaki keliling kota Medan (semampunya lah) dan pusat perputaran untuk kembali adalah di lapangan Merdeka, biasanya ditambah satu atau dua putaran dilapangan sambil cuci mata, tetapi kali ini acara jalan-jaan memutar tidak dilakukan, sebab dijalan raya sudah nampak keramaian yang menyita perhatian para pejalan kaki, rupanya ada pertunjukan Reog Ponorogo yang dimainkan anak-anak muda keturunan para perantau tanah Jawa yang sudah menetap puluhan tahun di Medan dan terus bergenerasi sampai sekarang.
sebagai sesama perantau tentunya pertujukan ini merupakan obat kerinduan akan ceritera dan sejarah hidup, memainkan reog Ponorogo di bukan tanah kelahirannya adalah merupakan kebanggaan yang tidak terhingga, semangat dan dedikasi mereka dalam mempertahankan kesenian warisan nenek moyang patut di apresiasi.
pertunjukan ini nampaknya begitu dinikmati oleh para pengunjung, hal ini dapat terlihat dari ramainya mereka menyaksikan dan juga merupakan pertunjukan yang jarang dilhat apalagi dilakukan di jalan raya dan tanpa bayaran.
kepandaian mereka memainkan perannya masing-masing sungguh memukai, kelenturan badan dalam tarian dan gerakan akrobatik sungguh membanggakan, apalagi dilakukan oleh remaja yang kita ketahui bersama mereka mulai meninggalkan kesenian asli negeri ini dan lebih tertarik dengan kesenian luar.
tidak terkecuali kaum remaja putri ikut memeriahkan dengan menari Jathil atau pajurit bekuda dan dikenal dengan Jathilan, demikian juga anak-anak ikut meramaikan pertunjukan ini dan mereka sama semangatnya dengan yang lain,
Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal usul Reog dan Warok , namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Tiongkok, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo
Hingga kini masyarakat Ponorogo dan keturunannya hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
jadi pantaslah kita berbangga dengan kesenian ini dan pantas pula jika kita mempertahankan dan melestarikan kesenian ini karena ini memang asli milik bangsa Indonesia.
note :
sebagian narasi disalin dari wikipedia Indonesia
Terima kasi pak photografer sudah memosting paguyuban kami seni reog Turonggo Siswo Budoyo (TSB) saya yg penyebul selompret pak...
BalasHapusapabila bapak ada perlu sama kami atau memerlukan hiburan seni Reog atau kuda kepang kami bersedia di panggil, ini no saya atau wa 0831-9845-5007 Terima kasih.
semoga bertambah maju
HapusKnp gak bisa dihubungin no jya
Hapus