JALAN-JALAN KE DANAU TOBA & PULAU SAMOSIR
Punya waktu jeda sehari di Medan
setelah menyelesaikan tugas maka muncul
rencana dadakan karena keterbatasan waktu dan biaya, menuju danau toba dalam sehari atau pastinya setengah hari.
Jam lima pagi adalah deadline
waktu yang disyaratkan, tidak muncul ya resiko ditinggal, begitulah empat orang
berjanji sudah dan benar jam lima pagi mesin mobil sudah menderu melintas
aspal meninggalkan kota Medan.
Memasuki kota Lubukpakam jalanan
masih terasa sepi, beberapa kendaraan besar antar propinsi sesekali melintas
berpapasan ataupun menyusul, sesuai perjanjian kecepatan tidak boleh melebihi
kecepatan normal karena perjalanan ini bukan memburu waktu tetapi mencoba
menikmati waktu.
Kondisi jalan raya lintas
sumatera ini cukup baik, jumlah lubang yang harus dihindari atau yang terpaksa
harus dilindas karet ban mobil tidak begitu mengganggu tetapi begitu matahari
mulai menerangi bumi dan lampu mobil
menyala hanya karena lupa dimatikan mulailah tantangan untuk bersabar dalam
umpatan atau hujatan dalam hati dan paling tidak terucap terdengar dibarengi
gelak tawa empat penghuni mobil hanya kerena mulai munculnya
kendaraan-kendararaan roda dua (“kreta” dalam istilah lokal) atau becak
bermesin yang kecepatannya dan isi penumpangnya mencoba menyamai mobil bahkan
bisa lebih.
Sekali lagi inilah perjalanan
menikmati waktu, jadi kesepakatan telah dibentuk untuk mencari hiburan dari gangguan ataupun hambatan dalam
perjalanan, umpatan demi umpatan kini
berubah menjadi bahasa yang bisa menghibur bahkan bisa menjadi perdebatan tanpa
memerlukan solusi karena memang tidak diperlukan.
Rasa gembira mulai nampak ketika kota Tebing Tinggi
menerima kedatangan kami “selamat dtang di kota Tebing Tinggi “ begitu sapaan
diatas gapura batas kota ketika jarum jam telah menunjuk ke angka tujuh lewat
sepuluh menit dan dibarengi dengan perubahan status masing-masing didalam
jaringan media sosial lewat ponsel.
Rasa optimis akan nikmatnya
perjalanan semakin terasa ketika batas luar kota mulai tampak dan untuk
menenangkan penghuni mobil maka pada
pompa bensin terdekat harus berhenti, maklum proses alami perubahan air mineral
menjadi urine mulai terasa dan mendesak dan jika sudah begini biasanya si
pengemudilah yang berperan, prioritas utama diperuntukan bagi pengemudi untuk
menuju pembuangan urine setelah itu penumpang diperbolehkan untuk saling
mencari nomer urut sendiri sendiri.
Sekali lagi karet ban mobil
dimanjakan dengan mulusnya kondisi jalan, meliak liuk melintas di apit oleh
perkebunan sawit ataupun karet, sesekali terpaksa harus menginjak gas agar
kecepatan mobil tidak terhambat oleh pelannya kendaraan lain didepan tetapi
nampaknya lebih banyak kendaraan lain mendahului mobil kami.
Cuaca memang telah bersahabat
sejak kami berangkat sehingga tidak membuat mata kamu menjadi bosan dengan
suasana diluar mobil, wajah manusia besar dan kecil jelas sekali apalagi wajah
wanita lokal yang selalu menjadi insprirasi percakapan, maklumlah semua
penumpang adalah laki-laki dewasa dengan kematangan hidup tentunya, sehingga
setiap sudut jalan yang diangap menarik dan
bisa dijadikan bahan diskusi selalu dijadikan alasan untuk memperlambat
laju kendaraan, tetapi itulah memang makna dari menikmati waktu.
“selamat datang di kota
Pemangtang Siantar “ demikian sapaan kedua oleh kota yang dikklaim sebagai kota
terbesar kedua setelah Medan di Sumatera Utara, waktu sudah menunjukan pukul
delapan lewat lima belas dan suara genderang orkesta mulai menderu didalam
perut mengirim sinyal ke otak membentuk rasayang diterjemahkan mulut menjadi
“lapar”.
Empat orang dengan empat pendapat
menghasilkan empat tempat makan yang berbeda, satu orang menuju warung
bertuliskan “kwetiau Pematang Siantar”, satu orang lagi masuk kedalam warung
bertuliskan “lontong sayur”, satu orang lagi menyeberang jalan menuju warung
makan dengan tulisan besar didepannya “ Mie Siantar “ dan sisa satu orang lagi
masih berputar memilih dan akhirnya masuk kedalam warung dengan etalase
bertuliskan “ nasi gurih “.
Perbedaan tempat makan tidaklah
menjadi sebuah halangan untuk kembali bersatu, kali ini yang dituju adalah
toilet umum, masing-masing sudah siap dengan rencananya untuk apa berada
ditempat itu, ada yang mulai menggulung celana, ada yang mulai menyalakan rokok
dan ada yang cuma berdiam tanpa mau disapa dengan wajah penuh harap agar dua
pintu toilet yang tertutup segera terbuka.
Menurut informasi perjalanan menuju
danau toba tinggal satu jam lagi dan setelah urusan public toilet selesai dan
kesepakatan dan rencana baru dibuat berangkatlah mobil meninggalkan kota Pematang
Siantar, kondisi jalan mulai menimbulkan silang pendapat didalam mobil ,
masing-masing mengeluarkan asumsi dan kondisi sesuai dengan apa yang
dirasakannya walaupun hasilnya Cuma tawa tetapi semangat menuju danau toba
semakin kencang.
Menyamakan
atau melebihkan pendapat pada kondisi alam diperjalanan ini selalu saja ada,
bila dijumpai tikungan maka muncul pendapat baru
“ ini kaya di puncak, ga seberapa “
atau
bila ada jalan yang ekstrim menikung atau menanjak muncul lagi pendapat lain
Semua
pendapat yang muncul menambah gairah agar segera sampai ditujuan dan benar saja
begitu kawasan hutan terlewati dan jalan menikung kekanan sementara sebelah
kiri pemandangan mulai tampak kosong pertanda ada lekukan dalam dibaliknya.
“
liat tuh sebelah kanan “ muncul teriakan begitu permukaan danau toba mulai
tampak dari atas dan Semua wajah menoleh kekanan mencoba memanjangkan leher
agar lebih bisa menengok arah yang dicari.
Bagaikan orang haus menemukan air, rasa lega dan rasa gembira langsung bergejolak, saling tepuk dan saling adu komentar muncul, ada tawa yang keras, ada ucapan sukur yang terdengar, ada tepuk tangan yang keras dan ada teriakan yang melengking dan diakhiri dengan segera membuka ponsel dan merubah status di media sosial sambil tersenyum dan penuh suka cita.
“ masa harus nunggu umur lebih dari setengah
abad untuk melihat danau toba “
terdengar suara lirih penuh tekanan kegembiraan.
Memasuki
kota Prapat sedikit agar bingung, dimanakah letak pintu masuk danau toba, lalu
mencoba menyusuri kota prapat, melintas ditepi danau, mencoba mencari lokasi
dimana harus berhenti, beberapa tempat begitu meragukan, halaman hotel juga
tidak nampak meyakinkan, lalu ada yang punya usul menuju arah dermaga fery,
tetapi ide tersebut ditolak begitu melihat lokasinya, kita tidak ada waktu
untuk menyeberang, siapa yang jamin kita bisa kembali pada hari yang sama,
padahal besok pagi harus kembali terbang ke Jakarta, akhirnya kembali berputar
menuju tepian danau dimana ada gapura dan loket restribusi masuk, seolah yakin
disini tempatnya karena tampak beberapa kapal penumpang sandar.
Malu
bertanya sesat di toba, begitu kambing hitam perasaan dicetuskan, berpura-pura
ikut parkIr dengan kendaraan lain dan mencoba mencari tau sambil seolah-olah
sudah tau, akhirnya diputuskan bahwa memarkir kendaraan disini sudah benar.
Tepat jam sebelas siang kamu sudah merasakan goyangan kapal berputar-putar menjemput penumpang di hotel sekitarnya, kadang kembal lagi ketempat semula bila ada tanda-tanda penumpang, tetapi karena rasa gembira yang ada dihari, gaya ngetem kapal tidak lagi dipersoalkan, yang penting sudah di danau toba.
Setelah dirasakan penumpang cukup memenuhi tempat duduk maka, perlahan dan penuh harap penumpang, kapal mulai menuju ke tengah danau, kilatan lampu kamera, ataupun acungan ponsel mulai ramai , tongkat kamera untuk ber-selfy ria meramaikan bursa gaya.
Sesuai kebiasaan rute kapal sebentar berhenti dilokasi yang dinamakan “batu gantung” sebuah tempat dengan berbagai macam ceritera yang cukup untuk membuat anggukan kepala atau bisa untuk ditambah-tambah agar kisahnya lebih dramatis,
Hanya
beberapa menit kapal kembali berjalan melintasi danau yang berombak lembut
menuju pulau samosir dan ceritera lengkap berplesiran kepulau samosir dan danau
toba mulai digarap didalam benak
masing-masing, tidak ada yang melarang untuk
menambah ceritera karena kapasitas benak yang berbeda-beda, yang pasti suara
awak kapal yang berteriak member peringatan kepada para penumpang setelah kapal
merapat ke dermaga Tomok.” silahkan turun dan jam dua nanti kembali ke prapat,
yang tertinggal tanggung jawab sendiri “.
Hanya
punya waktu hampir dua jam dipulau samosir berarti harus tau bagaimana dan mau
apa dipulau itu dan mengikuti langkah kebanyakan orang, dimulai dengan
menyusuri pasar yang menjual beraneka ragam makanan dan pakaian khas pulau ini
lalu menuju makan tua raja sidabutar setelah itu mengikuti arah suara musik
gondang dimana tarian sigale-gale sedang diperagakan, cukup waktu untuk sedikit
melepaskan lelah sambil menikmati atau
ikut menari atau jika tertarik dengan arsitektur rumah asli bisa bergerak bergeser
sedikit dari lokasi tarian, sisa waktu masih bisa untuk tawar menawar makanan
khas atau pakaian khas sampai kembali lagi ke dermaga dimana kapal sudah
menunggu.
Jam empat
siang kami sudah berada dikota Pematang Siantar lagi, berputar kota menikmati
sisa waktu dengan kesalahan arah tujuan, toko roti ganda yang terkenal itu tadi
pagi terlewati tetapi sekarang untuk mencarinya membutuhkan empat kali bertanya
dan dengan penuh perjuangan menyibak punggung ataupun pinggul antrean, akhirnya
roti ganda berhasil didapat sebagai oleh-oleh dan sesuai informasi maka makan
siang diundur sampai mendapatkan rumah makan yang dimaksud yaitu rumah makan
dengan hidangan khas burung sawah goreng yang letaknya sedikit menuju batas kota Pematang Siantar kearah kembali
pulang dan sesampainya di tempat makan
ini dendam lapar cukup terlampiaskan.
Jam Sembilan malam kami sudah berada kembali dikamar hotel di kota medan, bersiap merapihkan oleh-oleh dan pakaian kotor karena besok subuh kehadiran kami di bandara Kualanamu sangat diharapkan, jika tidak maka kami harus mengganti sendiri biaya penerbangan kembali ke Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar