PREMAN PASAR
(Trilogi 3)
Dulu melompati pagar rumah saja
harus mengambil ancang-ancang lama dan itupun karena ada yang menarik sehingga
keinginan melompat menjadi ada, tetapi sekarang melompat dari meja kemeja, dari
atap keatap bahkan melompat sambil mencekeram tidak perlu lagi harus dipikirkan
apalagi mengambil ancang-ancang, semua dapat dilakukan tanpa harus berpikir,
karena jika tidak maka kesempatan akan hilang termasuk harga diri.
Hidup dilingkungan pasar adalah
hidup yang sebenarnya, kecerdikan dan kemauan harus seimbang juga soal
kesempatan, perkelahian pertama dengan kucing kumal adalah tonggak kehidupan
baru didunia pasar ini, sejak kucing kumal lari tunggang langgang maka mahkota
raja pasar atau jagoan pasar melekat pada diriku, kekuasaanku tidak terbatas
pada kedai tempat aku tidur sesuka hati, dari pintu depan pasar sampai pintu
belakang adalah kekuasaan mutlakku, semua kedai makanan bebas aku masuki tanpa
ada yang menolak, ketampananku masih tersisa sejak Pretty kucing rumah tidak
menjadi barometer kerapihanku, akulah kucing rumah yang menjelma menjadi kucing
pasar dan kasar.
Aku juga tidak mengerti mengapa
bisa begini, tidak pernah ada untuk berpikir dua kali apalagi berlama-lama,
setiap ketidaknyamanan harus segera diatasi, tidak pedulu dia kucing jantan
atau betina, pendek kata apabila sudah menyangkut kenyamanan maka tidak ada
kata lain, bertindak cepat dan tuntas.
Pernah ada kucing jantan blonteng
hitam yang mencoba keberuntungan, pertama dia memancing ku di kedai nasi padang
karena disitu sering ada lemparan tulang ayam agak pedas, biasanya kucing lain
akan menunggu aku mengambilnya terlebih dahulu kemudian barulah mereka ikut
makan, tetapi kucing jantan blonteng hitam seolah sengaja, begitu ada lemparan
tulang ayam pedas segera dia menyergap dengan cepat tapi tidak dimakannya
tulang itu, seolah mengejek kucing lain yang sudah menunggu lama untuk berebut
sambil menunggu gesture dariku.
Gaya mata dan cara memandang
sudah dapat aku duga, kucing jantan blonteng ini sengaja memancing aku,
perlahan aku dekati sambil menatap matanya, erangan pertama agak kupelankan dan
begitu mata saling menatap segera erangan aku keraskan sambil menampar mukanya
dan rupanya kucing blonteng hitam tidak menyangka aku akan langsung menampar,
dia tidak sempat menangkis, tubunya terguling dan segera aku sergap sambil menggigit
lehernya sementara kaki depanku menjejak dengan cakar, suara lolongan bukan
membuatku melelemah, jika sudah begini aku menjadi sangat buas, hanya beberapa
detik kucing blonteng hitam mengeong sambil berlari keluar dari kedai, dan
segera kucing-kucing lain mengikuti aku menikmati lemparan tulang ayam pedas
bersama.
Sebagai petinggi kucing pasar,
aku sebenarnya bebas untuk berbuat apa saja, tidak ada berani yang menolak
keinginanku dan sebagai kucing jantan wajar jika aku membutuhkan penyaluran
biologis apalagi situasi dan kesempatan itu ada, tetapi inilah aku, walaupun
penampilanku kini urakan, kumal dan kotor tapi persepsiku tentang kecantikan
tetap tidak tergoyahkan, Pretty kucing rumah itu adalah standar ketertarikanku
terhadap kucing betina dan jika sudah waktunya dimana kebutuhan biologis harus
dipenuhi, secara diam-diam dimalam hari aku pergi menjauh dari lokasi pasar,
disebelah utara pasar ada terdapat komplek perumahan yang baru setengahnya
berpenghuni, tetapi untuk menuju kesana aku harus melewati kampung lama yang
barangkali kelamaan akan hilang oleh perluasan komplek perumahan, kampung ini
jika malam suasananya ramai, banyak anak-anak bermain di jalan dan kadang ada
tercium bau alcohol sehingga aku menghindari melewati jalan itu karena pernah
sekali ketika aku lewat segera berterbangan batu atau benda lain mengusirku
sambil mengumpat mereka melempar apa saja kearahku dan sejak itu aku memilih
lewat jalan didalam kampung dan itupun harus waspada karena ini bukan daerah
kekuasaanku, sempat beberapa kali aku kepergok beberapa kucing kampung dan
segera mereka ramai memanggil teman-temannya begitu aku lewat, hal ini ingin
kuhindari karena keadaanku kini berbeda dan kampung ini bukanlah daerahku,
sukar bagiku untuk menahan emosi kemarahan bila hal ini kuladeni ,
Ketika pertama memasuki komplek
perumahan tidak Nampak para kucing diderah itu, tetapi malam-malam berikutnya
sejak aku perdengarkan suaraku maka satu persatu mulai Nampak, kucing perumahan
memang berbeda gaya dan penampilannya dan itu membuat aku menjadi standar kesan
terhadap meraka, kadang ramah, kadang genit, kadang nesuan, persis dengan gaya Pretty
kucing rumah dulu.
Dan seperti kebiasaanku dulu jika
berkunjung ke tempat Pretty kucing rumah, aku berbersih diri sesempurna mungkin
tapi sekarang cukup dengan merapihkan bulu saja dan sedikit membasahinya agar
Nampak rapih, aku tidak mungkin lagi sesempurna dulu, tempat tinggalku tidak
memungkinkan untuk berpenampilan gaya kucing komplek perumahan tapi rupanya
masih tersisa sedikit gaya rumahanku sehingga mereka bisa menerima kehadiranku
dan tentunya urusan biologis mendapatkan tempat yang semestinya walaupun itu
dilakukan tanpa ada cinta.
Sudah bulan kelima keberadaanku
di pasar ini, semakin hari semakin saja penuh tantangan, jika dipikir lama
kelamaan membosankan tapi aku perlu hidup dan tidak ada cara lain untuk
bertahan disini selain mengandalkan otot, hari ke hari harus ada perkelahian,
entah itu Cuma sekejab atau kadang juga berkelanjutan, rasanya kepuasanku
tercapai bila ada kucing yang mengerang tajam kesakitan oleh gigitan atau
cakaranku, tidak peduli apakah itu kucing penghuni pasar atau pendatang,
pokoknya jika naluri berkelahiku muncul harus ada yang jadi korban tindak
kekerasanku, walaupun sebenarnya aku mencoba tidak mendahului tapi dari gerakan
atau tatap maka yang dicerna oleh otakku bahwa itu adalah tantangan, maka
seketika saja aku ladeni.
Hari bertambah hari dan aku
sendiri tidak tau sampai kapan aku berada disini, lemparan kayu atau benda
keras sudah makanan sehari-hari, siraman air panas juga mewarnai bahkan
sundutan rokok kadang mencobai, mungkin jika ada muncul kucing jantan baru yang
bisa mengalahkanku dan mengusirku dari pasar ini barulah ini semua akan berhenti
tapi sampai kapan itu terjadi, semua sudah aku sadari tapi sukar untuk berlari
dari kenyataan, ada kenikmatan tersendiri menjadi petinggi kucing sekaligus
jagoan pasar, semua akan ku pertahankan sampai aku benar dinyatakan kalah dan
terpaksa mengungsi keluar pasar dan mencari tempat baru untuk meneruskan hidup.
Hidup itu memang pilihan, ingin
hidup harus berani mati, inilah aku Gembul yang hidup dengan memilih karena
dipaksa lingkungan.
next
Sepinya Hati Preman (Trilogi -1 )
Pretty Betina Rumahan (Trilogi - 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar