(my serial journey to
Maluku/Moluccas)
Increasingly difficult a journey through the sea, increasingly I love the sea,
ke
Pulau Bacan.
Kembali
aku tidak kebagian tempat duduk dipesawat yang menuju pulau Bacan sehingga aku
harus menempunya melalui laut, sebagai orang kota disinilah rupanya aku harus
ditantang dan tertantang untuk tidak surut menempuh perjalanan melalui jalur
biru laut.
Sesuai
yang tertera ditiket kapal akan berangkat jam empat sore tetapi sama juga
dengan angkutan umum di Jawa, penambahan penumpang sangat diharapkan oleh
pemilik kapal dan itu berarti waktu keberangkatan diundur sampai sipemilik
kapal merasakan cukup barulah nakkoda membunyikan peluit tanda kapal akan naik
jangkar dan berlayar mengarungi lautan .
Disebut
kapal pelayaran rakyat, kapal kayu dengan dua tingkat kamar tidur berisikan
empat orang setiap kamar tampa bisa berdiri, aku tidak ingat berapa jumlah
kamar tetapi semua terisi penuh termasuk barang-barang yang diletakan diluar
kamar atau diburitan dan sekeliling kapal, bila turun kebawah kedalam palka
maka tampaklah penumpang yang lebih banyak lagi, mereka yang tidak memesan
kamar atau yang tidak kebagian kamar harus rela berdesakan duduk atau tiduran,
tidak ada yang berwajah tertekan ataupun kecewa, mereka menikmati dan aku juga
menikmakti kekhawatiranku sendiri.
Bagaikan
orang yang sering mengarungi laut aku selalu berjalan mondar mandir, pemadangan
indah diwaktu senja ketika pulau ternate dan pulau-pulau yang dilewati
memberikan suasana pemandangan yang indah diterangi warna jingga matahari dan
biru laut sampai saatnya tanda peluit beberapa kali lalu disusul suara azan
dari sang nakkoda yang berdiri diatas atap kapal menghadap matahari , waktu
magrib sudah tiba, lalu iringan jamaah menyusul satu persatu, sungguh suasana
yang mengharukan.
Memasuki
malam aku masih duduk menikmati laut dari ruang kemudi, ngobrol tentang ketidaktahuanku soal kapal
dan laut, soal pelaut dan penumpang sampai soal kota besar dan kota kecil dan
ketika perutku mulai terasa mual aku mulau surut tidak banyak tanya dan jawab, kapal mulai terasa naik
turun sebentar oleng kekiri
dan kanan, konsentrasi nahkoda dan
pembantunya
mulai tampak serius dan aku disarankan untuk kembali kekamar agar rasa mualku
berkurang.
Dalam
langkahku menuju kamar melalui sisi kapal barulah aku menyadari kesendirianku,
tidak ada cahaya lain selain cahaya lampu kapal dan bintang dilangit, suara
lagu daerah terdengar dari ruang kemudi sampai kedalam kamarku, tetangga
tidurku masih mengobrol dan mengajakku untuk bergabung dalam obrolannya sampai
saatnya mereka merasa ngantuk dan satu persatu berhenti bersuara meninggalkan
aku yang tidak bisa memejamkan mata, suara kerat kayu dinding kapal tersa
berirama ketika kapal oleng kekiri kanan atau naik turun, dalam penantian waktu
aku kembali keluar kamar tetapi goyang dan oleng kapal semakin terasa dan
tampak sesekali batas muka air berada lebih tinggi dari sisi kapal atau kadang
jauh dibawah dasar kapal, diruang kemudi tampak wajah-wajah serius berdiri
dibelakang kemudi sehingga aku urungkan dan kembali kekamar dan aku cuma
berharap waktu cepat berlalu.
Pagi
hari aku dibangunkan oleh rasa mulas dan mengikuti petunjuk dimana harus
melakukan proses alami, menuruni sisi kapal yang sedang berjalan lambat (mesin
kapal mati satu katanya) sampailah aku disebuah tempat/koridor yang memang dibuat khusus disisi kapal,
menjorok kebawah dan berada kira-kira setengah meter diatas air laut, disitu
ada beberapa orang yang juga berhasrat sama dan secepat itupula aku bisa
menyesuaikan diri, jongkok bersama diterpa cipratan air laut sesekali.
Mesin
kapal akhirnya mati total sekitar jam tujuh pagi dan kapal berjalan mengikuti
arus dan angin yang ada, tidak ada rasa kepanikan dikapal itu kecuali aku
sendiri yang berusaha tidak menunjukan rasa kuatir seperti yang lain, aku sempat
menengok ke palka dimana mesin kapal berada, beberapa orang sibuk mengutak
ngutik mesin, suara canda dan tawa masih terdengar dari penumpang yang berada
dipalka.
Kapal
terus berjalan pelan tanpa ku tahu apakah arahnya benar sesuai dengan tujuan,
aku menyarankan kepada nahkoda untuk membuang jangkar agar kapal tidak terseret
arus tetapi dengan penuh senyum dijawab “ tidak mungkin pak, rantai jangkar
hanya beberapa puluh meter, tidak akan mencapai karang atau dasar laut disini “
, selebihnya aku lebih banyak bergerombol dengan penumpang lain mencoba menyatukan
perasaan yang kusembunyikan, sesekali aku melemparkan sisa-sisa makanan kecil
kelaut yang merangsang ikan besar muncul
kepermukaan, diantaranya ada hiu besar yang selalu menampakan diri berkeliling
kapal.
Tidak
lama kemudian ada aba-aba agar penumpang
turun kepalka, rupanya ada pembagian sarapan, piring plastik berisikan
nasi dan potongan ikan tongkol goreng diedarkan estafet, setiap dua puluh
piring berhenti dan makan bersama, lalu setelah itu bergantian sampai seluruh
penumpang mendapatkan, aku merasakan suasana yang begitu ramah diantara
penumpang, bagaikan keluarga besar berpesta melupakan mesin kapal yang mati,
demikian juga ketika jam makan siang dan makan malam tiba suasana terus saja
gembira apalagi ketika hampir tengah malam mesin kapal berhasil dihidupkan,
suasana gembira semakin terasa.
Aku
sengaja tidak tidur menikmati suasana malam, kebetulan cuaca cerah dan angin
berhembus pelan dan begitu pula dengan ombak laut yang ramah sampai memasuki
fajar yang kembali memerah member warna terang dihorison laut, sesekali tampak
loncatan ikan lumba-lumba mengiringi jalannya kapal dan menjelang siang hari kapal memasuki
pelabuhan Babang di pulau Bacan, suara teriakan khas menyambut merapatnya kapal
ke dermaga dibalas dengan suara peluit kapal berkali-kali, semua gembira, semua
selamat .
Setelah
makan siang dipelabuhan dan mencari informasi lain aku langsung mencari
angkutan umum menuju lokasi yang kutuju, menembus pulau Bacan, menembus hutan,
menembus tugas yang harus diselesaikan dan sejak itu kepergianku kepulau-pulau
lainnya di Maluku utara menjadi perjalanan yang menyenangkan baik lewat laut
maupun udara.
Semua kenangan itu (1990-1993) dapat dinikmati melalui foto yang aku ambil memalui kamera
analogku dan masih bisa kuselamatkan dari kerusakan penyimpanan, kenangan di Ternate, Halmahera ataupun perjalanan ke
pulau Bacan dan pulau lainnya Semoga keindahan ini tidak hilang ditelan jaman.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar