Minggu, 15 November 2015

Mampir ke Bukit Lawang.

Bukit Lawang,




Nama Bukit Lawang sempat mencuat ketika tragedi air bah, semua yang ada disisinya hancur punah terbawa air termasuk harta benda maupun nyawa, itu terjadi beberapa tahun yang lalu.
Kebetulan pula hari minggu sehingga semua sepakat untuk mencoba melihat kondisi Bukit Lawang sekarang walaupun tidak seorangpun pernah kesini.
Berpedoman petunjuk arah yang terpasang disisi jalan maka di pagi hari dimulaikan perjalanan menuju lokasi tepat pada saat jam menunjukan pukul sembilan langsung menuju arah kota Binjai.
Oleh karena buta akan situasi maka perjalanan kali ini cukup baik, ada termos nasi, ada tempe goreng dan ada oseng-oseng sisa masakan pagi.
MInggu pagi ini kota Medan masih belum terhenyak dari tidur pagi, disimpang-simpang jalan kami selalu mudah untuk dilewati sehingga hanya memerlulkan waktu tidak sampai tiga puluh menit sudah masuk ke perbatasan kota Binjai dan mulai sekarang semua mata harus waspada melihat rambu arah yang dituju.
Kondisi jalan seperti lumrahnya arah ke luar kota, kadang bagus kadang juga berlubang dan yang sangat berciri khas di sini adalah kecepatan kendaraan yang menurut ukuran orang luar Sumut cukup nekad dan berani, dengan pedolam waspada tapi jangan lengah dan jika perlu ikut-ikutan irama di jalan, maka semua akan beres.
Mengasikan juga jalan menuju Bukit Lawang dan tidak membosankan (maklum baru lewat) variasi kondisi jalan yang kadang lurus, tidak jarang pula berliku dan tidak terlalu lebar, pemandangan cukup baik untuk pengendara, sebentar perkampungan, pasar sebentar hutan kebun dan kadang juga tampak bukit dan jembatan.
Jam satu siang lewat beberapa menit mobil kami sudah memasuki daerah wisata Bukit Lawang yang ditandai dengan ditariknya restribusi  untuk kendaraan dan penumpang, lalu maju beberapa puluh meter lagi kembali dimintai biaya parkir, inilah ciri khas daerah berkembang yang bisa dijumpai dimana-mana.
Mencari tempat parkirpun mulai sukar, banyak tawaran dari para juru parkir yang menurutku tidak jelas apakah mereka dari pengelola atau perorangan tetapi yang pasti ini tidak jauh dari urusan bayar lagi dan benar juga begitu mendapatkan tempat yang layak dan mudah dijangkau kembali kocek harus dirogoh. Mau bilang apa, inilah adanya. Namanya juga cari pengalaman...........


yang bisa dilihat dari tempat parkir


Dimulai dari jembatan ini perjalanan menyusuri daerah wisata Bukit lawang, sekehendak hati karena tidak ada petunjuk harus dari mana dan yang ada didepan mata inilah, jembatan gantung.

foto dibawah ini adalah suasana yang bisa dilihat dari jembatan ini









hah.....ternyata lewat jembatan ini harus bayar , seperti jalan toll saja, tetapi beginilah kenyataannya, tampaknya jembatan ini dibuat oleh swasta sehingga perlu dipungut bayaran bagi yang melintas.




selepas bayar toll jembatan, kita bisa menyusuri  sisi sungan dijalan setapak yang sudah dibeton di, sayangnya kita tidak bisa menyusuri bibir sungai karena dipenuhi oleh bangunan/gubug2 yang disewakan dan menurutku hal ini sangat mengganggu pemandangan, kita tidak bisa menikmati sungai seperti suasana asli dan alami tetapi apakah memang hal seperti ini memang sudah mejadi ciri khas disini ? sayang sekali.














Menyusuru tepian sungai sungguh mengasikan, melihat mereka yang sengaja untuk bermain air dan bersenda gurau dengan tingkah polah yang membuat iri hari.



hanya di jembatan ini lewat tidak bayar




Melihat penataan daerah wisata disini masihlah dikelola secara tradisional, tidak ada tata kelola yang jadi pedoman sehingga setiap orang bebas menentukan sendiri akan mendirikan bangunan di sisi sungai, gubuk-gubuk ditempatkan persis disisi sungai sehingga menggangu mata apabila ingin  menikmati sungai dari tepian, termasuk juga fasilitas jembatan, mengapa harus membayar jika harus lewat, 
selebihnya cukup terhibur disini.

(mau lihat penangkaran orang utan waktunya tidak cukup, jadi hanya inilah yang bisa disajikan)



Rabu, 21 Oktober 2015

Delapan jam di Singapore, dua malam di Batam.

Delapan jam di Singapore, dua malam di Batam.

Ini memang perjalanan asal jalan, ada tiket murah ditambah hari senen libur tujuh belasan, jadilah dicoba rute baru ini dan hasilnya menurutku  lumayan menyenangkan.

Setelah surving di semua ticket agent, maka dapatlah tiket lumayan murah tujuan Batam lalu kembali surving soal hotel di Batam  dengan lebih dahulu melihat peta pulau Batam dan langsung diskusi dengnan teman perjalanan untuk menentukan dimana harus menginap dan disesuaikan dengan perjalanan lanjutan  dan akhirnya disepakati untuk mencari hotel di daerah Nagoya.
Nagoya dipilih karena dilihat di peta lebih dekat ke dermaga ferry penyeberangan dan kebetulan tahun delapan puluhan pernah kesana, paling tidak masih bisa untuk sok tau karena sudah pernah kesana.
Kembali surving mencari hotel yang harganya memadai dengan budget dan lumayan juga ada harga 200 ribu bisa dua orang plus sarapan dan jika dilihat di peta tampaknya tidak terlalu jauh dari penyeberangan.
Setelah tiket dan hotel selesai sekarang tingggal masalah transportasi, googling sana googling sini didapatlah informasi yang menarik, dari bandara Hang Nadim batam ada Damri yang ke Nagoya dan ini sangat membantu semangat kami untuk berhemat.
Sabtu jam 15.30 dari Bandara Kualanamu Medan aku terbang menuju pulau Batam dan sengaja mencari tempat duduk disisi jendela, maklum rasa ingin tau seperti apakah pulau Batam sekarang dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu .



Mendarat di bandara Hang Nadim barulah aku merarasakan bahwa umurku memang beranjak naik sebab tidak kukenali sama sekali bandara yang pernah ku kunjungi dahulu kala.

Dengan semangat  backpacker’s segera aku
bergegas keluar bandara, sedikit tertegun melihat suasana sambil sedikit sok tau mencari arah dimana bis Damri menunggu dan hasilnya nihil, tidak ketemu.
Hidup memang harus bersoasialisasi, malu bertanya sesat belakangan, ternyata bis Damri yang kucari ada didepan bandara, hanya aku terlalu focus dengan bis Damri di Jakarta yang berwarna biru dan abu sedangkan di Batam bis Damri berwarna oranye, itulah akibat gaya sok tau dan sok ngerti.
Kali ini kembali aku kena tulah oleh gayaku sendiri, ternyata bis Damri jurusan Nagoya hanya sampai jam 17.00 nongkrong di bandara, kecewa dan lemas sambil berhitung apabila harus naik taksi atau ojek.
Atas saran sang kondektur jika memang mau ke Nagoya bisa turun di hakte Kepri Plaza dan pindah dengan angkot lain menuju Nagoya, sambil berunding sebentar dengan teman maka diputuskan untuk mengikuti saran tersebut.
Dua puluh ribu ongkos Damri  sampai di halte yang dimaksud, lalu pindah mencari angkot jurusan Nagoya , naik angkot disini juga merupakan pengalaman baru, kwalitas angkut ternya tidak sebanding dengan wajah kota Batam yang cukup mentereng, tetapi biarlah yang peting sampai ke tujuan sambil kembali meneliti peta untuk mencari petunjuk dimana harus berhenti di Nagoya  dan hasilnya kembali nihil, tidak ada petujunjuk yang meyakinkan dimana harus berhenti di Nagoya, Tanya supir, kenek dan penumpang tidak ada yang tau lokasi hotel yang dimaksud, akhir atas saran hati nurani dan alam kehati-hatian maka diputuskan untuk berhenti ditempat yang paling ramai di Nagoya,  yaitu Nagoya Hill dan lima ribu rupiah seorang untuk ongkos angkotnya, “ nyebrang kesana kalau mau ke Nagoya Hill “ demikian ujar kernet angkot.
Cuaca masih terang benderang walaupun waktu sudah menujukan pukul 18 lewat, kami tertegun sebentar di sisi jalan, dan aku mencoba menggali ingatan dimanakan sekarang aku berpijak, tidak sedikitpun kenangan tahun delapan puluhan melintas dan aku sama sekali tidak bisa mengenali daerah ini, kita harus segera check-in hotel sebab jika lewat dari jam 19 mereka tidak menjamin kamar akan masih ada, begitu pesan email ketika booking hotel.
Segera aku meneliti sisa pulsa dan rasanya masih cukup untuk menelpon hotel  dan jawabannya adalah “ bapak dari sana naik ojek kira2 lima belas menit bilang aja hotelnya dibelakang gedung… (lupa) “, aku kemballi berunding,  target semua urusan harus jalan kaki sekarang harus naik ojek dan jika dihitung lima belas menit naik ojek bisa jadi jaraknya masih jauh dan tentunya harganya pasti mahal.
Rupanya gerak tubuh kebingungan kami diperhatikan oleh tukang rokok dibelakangku dan informasi yang diberikan ternyata didaerah sini banyak tersebar hotel dengan harga cukup menantang murah bila dibandingkan dengan hotel yang sudah aku pesan dan kegelisahanku langsung ditangkap oleh pengemudi taksi yang mangkal didekat tukang rokok, rupanya taksi di Batam ada juga yang berplat hitam tanpa tanda perusahaan, setelah bernegosiasi disepakati harga tiga puluh ribu sampai dihotel murah dan mendekat ke dermaga penyeberangan.


Tidak sampai lima menit sampailah aku dideretan ruko pertokoan, dan berhentilah taksi didepan hotel Gajah Mada di daerah Lubuk Baja, sebuah hotel kelas melati dengan harga cukup miring, seratus delapan puluh ribu untuk dua orang, AC, Kamar mandi dalam, TV kabel serta  sarapan, suka atau tidak ini harus dilaksanakan, hari mulai masuk waktu isya dan perut mulai terasa lapar dan sepakatlah untuk menginap ditempat ini walaupun dengan sedikit perdebatan tetapi akhirnya tercapai mufakat, sebab jika rasa lelah dan lapar dipakai untuk berunding yang muncul adalah bersitegang.
Benar juga setelah mandi dan makan malam dikedai pecel ayam  disebelah hotel barulah pembicaraan untuk acara selanjutnya bisa dilanjutkan, berbekal informasi dari mbak pecel ayam dan dari penjaga hotel serta peta kota batam kami menyusuri jalan menuju Harbour Bay, dimana dermaga penyeberangan berada.
Jalan kaki adalah programku, dimana kota aku singgahi disitulah aku harus berjalan kaki sekuat kaki melangkah karena dengan cara ini aku bisa mengenali jalan dan lokasi .
Cukup ramai didaerah ini, pejualan elektronik dikaki lima menambah rasa ingin tau, berbagai kuliner dan barang keperluan sehari-hari berjejer seperi umumnya dikota-kota besar, memasuki jalan raya barulah suasanya sedikit sepi, beberapa hotel besar dan kecil nampak ramai, satu hal yang selalu muncul ketika pertama kali kita mencari tempat tujuan adalah perasaan jauh, demikian juga saat ini, menuju harbor bay rasanya tidak sampai-sampai, tapi tekad sudah bulat, jalan kaki dan biarkan taksi dan ojek menyapa kami, hampir kami bosan menjawab sapaan tukang ojek dan supir taksi.

Tulisan Harbour bay terbaca jelas dari kejauhan, sebuah mall modern yang cukup besar bersebelahan dengan hotel bintang lima dan yang pasti hati terasa puas karena tujuan sudah hampir sampai, jam sembilan malam mall ini masih ramai dan kebetulan juga menjelang Tujub belasan, jadi ada beberapa perlombaan dimainkan didalam mall.
Dermaga penyeberangan berada dibelakang mall, ikuti saja arah petunjuknya kata pak satpam ketika kami bertanya dan lumayanlah anggap saja jalan dimall menikmati dinginnya AC.
Setelah melihat papan bertulisan Imigrasi barulah kami lega, rupanya disinlah penyeberangan bila hendak ke Singapore, disekelilingnya banyak travel agent ferry dan tempat makan, beberapa agent kami masuki sambil bertanya soal waktu dan biaya dan setelah puas mendapatkan informasi barulah kami sedikit santai menuju arah kembali ke hotel.
Disekitar harbour bay, banyak sekali tempat kuliner termasuk café , semakin malam semakin ramai dan menurut ilmu gaulku tentunya semakin malam semakin keras angin laut bertiup dingin dan semakin banyak minuman untuk ditenggak bersamaan dengan tawa dan canda rayu pembeli dan penjual jasa kesenangan.
Dipintu keluar mall segera kami menyetel stop watch, untuk menghitung waktu berapa lama sampai dihotel agar besok pagi bisa mengatur jam bangun, sarapan dan ternyata hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai kembali ke hotel, ya sekitar dua tiga kilometer saja.
Pagi jam enam sudah kembali berada di harbour bay, cukup tidur, cukup olah raga jalan  kaki dari hotel ke dermaga, cukup bekal dua botol besar air minum kemasan, satu lonjor roti tawar isi, dua pak permen segar, alat dokumentasi, kaos cadangan, paspor dan obat2an ringan.

Harga tiket penyeberangan pulang pergi 360 ribu dan langsung ke pemeriksaan imigrasi yang kebetulan cukup ramai, maklum hari libur dan kemungkinan mereka juga bermaksud sama, tua muda besar kecil sebangsa dan setanah air walaupun berbeda suku dan ras, yang namanya orang Indonesia jika sudah kumpul bisa seperti pasar, antri dikoridor menunggu pemeriksaan dan selepas pemeriksaan berlari menuju ferry agar bisa mencari tempat duduk yang strategis .

 


Empat puluh lima menit ferry sudah menepi di pelabuhan Harbour Front Singapore persis disebelah sentosa island dan kembali antrian panjang di pemeriksaan imigrasi karena hampir semua ferry dari pulau Batam merapat pada jam yang sama sehingga hampir dua jam antrian barulah dapat lepas dari pemeriksaan, disini sama sekali dilarang mengambil foto dan berselular.



Perjalanan  kali ini sudah disepakati hanya singgah di tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi mengingat singkatnya waktu dan tujuan pertama adalah jembatan Henderson yang cuma beberapa menit naik MRT , 



                                                                             stasiun MRT Telok Blangah

hanya sayangnya begitu keluar dari statsiun Telok Blangah hujan turun dengan derasnya dan terpaksalah hanya mondar mandir di jembatan penyebarangan sambil berharap hujan segera reda 




tetapi sudah hampir satu jam hujan semakin besar lalu diputuskan untuk beralih tujuan mengingat waktu yang terus berjalan dan tujuan selanjutnya adalah kampung kecil India dan lebih dikenal dengan nama litle india.


                                   

Litle India.
Di tempat ini cuaca lumayan cerah dan kadang juga terik silih berganti dengan mendung kecil tetapi tidak menyurutkan niat untuk berkeliling tempat ini sampai puas dan sesuai jadwal yang telah dimufakati.



















Selepas Little India tujuan selanjutnya adalah kawasan Orchard dan kembali harus naik MRT menuju kawasan tersebut.
Kawasan Orchard memang tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi terutama bagi mereka yang gemar berbelanja barang-barang bermerek tetapi buat kami cukuplah mengenal dan melihat saja karena bukan tujuan utama (padahal juga mau).
























Setelah puas berputar-putar di kawasan ini dan sambil menghitung kembali sisa waktu yang ternyata tinggal beberapa jam saja maka diputuskan untuk kembali mencoba ke Henderson Bridge sambil mencari arah MRT yang berputar dan tidak melewati statsiun yang sudah pernah dilewati sebelumnya.


Kali ini dikawasan Telok Blangah sudah lumayan cerah dan setelah mencari informasi bagaimana cara menuju jembatan Hendersen, beberapa orang yang ditanya menyarankan menggunakan bis atau taksi tetapi jika dilihat dipeta rasanya tidak terlalu jauh dan kembali diputuskan untuk berjalan kaki.

Perjalanan dari statsiun MRT Telok Blangah cukup menyenangkan, rasanya seperti di Bogor atau Bandung karena banyak dikelilingi pohon-pohon rindang dan berhawa cukup sejuk.






Tidak sampai dua puluh menit tampakan jembatan Henderson menjulang tinggi menghubungkan satu bukit ke bukit lainnya melintas diatas jalan raya  dan rasa puas menyelimuti ketika kaki melangkah menaiki tangga bukit.


















 cukup membuat surprise, ternyata di sini suasananya sangay nyaman, bisa olah raga, bisa gaya-gaya, bisa pacaran, yang penting tidak mengganggu kenyamanan orang lain karena diawasi oleh cctv disetiap sudut 

























Puas menikmati suasana di jembatan ini dan matahari sudah mulai memberikan tanda untuk meredupkan cahayanya demikian juga kami harus segera bergegas menuju arah kembali ke pelabuhan penyeberangan Harbour Bay .




Diiringi lembutnya cahaya matahari bersembunyi dibalik cakrawala demikian juga melajulah ferry membawaku kembali ke pulau Batam, delapan jam sudah dilalui di Singapore, dengan satu lonjor roti tawar isi, dua botol besar air minum, sudah meringankan rangselku dan hampir mencapai 16GB sudah penuh didalam memory card kameraku dan kembali ke hotel dan kembali ke pecel ayam.


Check out jam delapan langsung menuju angkutan umum kerarah Batam centre dan tujuan kali ini adalah Mesjid Agung.






Setelah makan siang di kantin pelabuhan batam centre acara selanjutnya adalah kembali ke bandara Hang Nadim untuk terbang kembali pulang.


berpikir untuk perjalanan selanjutnya.