Rabu, 27 Agustus 2014

TOBA LAKE (jalan-jalan ke Danau Toba dan pulau Samosir pulang hari)

JALAN-JALAN KE DANAU TOBA & PULAU SAMOSIR 

Punya waktu jeda sehari di Medan setelah menyelesaikan tugas  maka muncul rencana dadakan karena keterbatasan waktu dan biaya, menuju danau toba  dalam sehari atau pastinya setengah hari.
Jam lima pagi adalah deadline waktu yang disyaratkan, tidak muncul ya resiko ditinggal, begitulah empat orang berjanji sudah dan benar jam lima pagi mesin mobil sudah menderu melintas aspal  meninggalkan kota Medan.
Memasuki kota Lubukpakam jalanan masih terasa sepi, beberapa kendaraan besar antar propinsi sesekali melintas berpapasan ataupun menyusul, sesuai perjanjian kecepatan tidak boleh melebihi kecepatan normal karena perjalanan ini bukan memburu waktu tetapi mencoba menikmati waktu.
Kondisi jalan raya lintas sumatera ini cukup baik, jumlah lubang yang harus dihindari atau yang terpaksa harus dilindas karet ban mobil tidak begitu mengganggu tetapi begitu matahari mulai menerangi  bumi dan lampu mobil menyala hanya karena lupa dimatikan mulailah tantangan untuk bersabar dalam umpatan atau hujatan dalam hati dan paling tidak terucap terdengar dibarengi gelak tawa empat penghuni mobil hanya kerena mulai munculnya kendaraan-kendararaan roda dua (“kreta” dalam istilah lokal) atau becak bermesin yang kecepatannya dan isi penumpangnya mencoba menyamai mobil bahkan bisa lebih.
Sekali lagi inilah perjalanan menikmati waktu, jadi kesepakatan telah dibentuk untuk mencari  hiburan dari gangguan ataupun hambatan dalam perjalanan,  umpatan demi umpatan kini berubah menjadi bahasa yang bisa menghibur bahkan bisa menjadi perdebatan tanpa memerlukan solusi karena memang tidak diperlukan.
Rasa gembira  mulai nampak ketika kota Tebing Tinggi menerima kedatangan kami “selamat dtang di kota Tebing Tinggi “ begitu sapaan diatas gapura batas kota ketika jarum jam telah menunjuk ke angka tujuh lewat sepuluh menit dan dibarengi dengan perubahan status masing-masing didalam jaringan media sosial lewat ponsel.
Rasa optimis akan nikmatnya perjalanan semakin terasa ketika batas luar kota mulai tampak dan untuk menenangkan penghuni mobil  maka pada pompa bensin terdekat harus berhenti, maklum proses alami perubahan air mineral menjadi urine mulai terasa dan mendesak dan jika sudah begini biasanya si pengemudilah yang berperan, prioritas utama diperuntukan bagi pengemudi untuk menuju pembuangan urine setelah itu penumpang diperbolehkan untuk saling mencari nomer urut sendiri sendiri.
Sekali lagi karet ban mobil dimanjakan dengan mulusnya kondisi jalan, meliak liuk melintas di apit oleh perkebunan sawit ataupun karet, sesekali terpaksa harus menginjak gas agar kecepatan mobil tidak terhambat oleh pelannya kendaraan lain didepan tetapi nampaknya lebih banyak kendaraan lain mendahului  mobil kami.
Cuaca memang telah bersahabat sejak kami berangkat sehingga tidak membuat mata kamu menjadi bosan dengan suasana diluar mobil, wajah manusia besar dan kecil jelas sekali apalagi wajah wanita lokal yang selalu menjadi insprirasi percakapan, maklumlah semua penumpang adalah laki-laki dewasa dengan kematangan hidup tentunya, sehingga setiap sudut jalan yang diangap menarik dan  bisa dijadikan bahan diskusi selalu dijadikan alasan untuk memperlambat laju kendaraan, tetapi itulah memang makna dari menikmati waktu.
“selamat datang di kota Pemangtang Siantar “ demikian sapaan kedua oleh kota yang dikklaim sebagai kota terbesar kedua setelah Medan di Sumatera Utara, waktu sudah menunjukan pukul delapan lewat lima belas dan suara genderang orkesta mulai menderu didalam perut mengirim sinyal ke otak membentuk rasayang diterjemahkan mulut menjadi “lapar”.
Empat orang dengan empat pendapat menghasilkan empat tempat makan yang berbeda, satu orang menuju warung bertuliskan “kwetiau Pematang Siantar”, satu orang lagi masuk kedalam warung bertuliskan “lontong sayur”, satu orang lagi menyeberang jalan menuju warung makan dengan tulisan besar didepannya “ Mie Siantar “ dan sisa satu orang lagi masih berputar memilih dan akhirnya masuk kedalam warung dengan etalase bertuliskan “ nasi gurih “.



Perbedaan tempat makan tidaklah menjadi sebuah halangan untuk kembali bersatu, kali ini yang dituju adalah toilet umum, masing-masing sudah siap dengan rencananya untuk apa berada ditempat itu, ada yang mulai menggulung celana, ada yang mulai menyalakan rokok dan ada yang cuma berdiam tanpa mau disapa dengan wajah penuh harap agar dua pintu toilet yang tertutup segera terbuka.
Menurut informasi perjalanan menuju danau toba tinggal satu jam lagi dan setelah urusan public toilet selesai dan kesepakatan dan rencana  baru dibuat  berangkatlah mobil meninggalkan kota Pematang Siantar, kondisi jalan mulai menimbulkan silang pendapat didalam mobil , masing-masing mengeluarkan asumsi dan kondisi sesuai dengan apa yang dirasakannya walaupun hasilnya Cuma tawa tetapi semangat menuju danau toba semakin kencang.
Menyamakan atau melebihkan pendapat pada kondisi alam diperjalanan ini selalu saja ada, bila dijumpai tikungan maka muncul pendapat baru
 “ ini kaya di puncak, ga seberapa “
atau bila ada jalan yang ekstrim menikung atau menanjak muncul lagi pendapat lain
“ waw boleh juga neh jalan “



Semua pendapat yang muncul menambah gairah agar segera sampai ditujuan dan benar saja begitu kawasan hutan terlewati dan jalan menikung kekanan sementara sebelah kiri pemandangan mulai tampak kosong pertanda ada lekukan dalam dibaliknya.
“ liat tuh sebelah kanan “ muncul teriakan begitu permukaan danau toba mulai tampak dari atas dan Semua wajah menoleh kekanan mencoba memanjangkan leher agar lebih bisa menengok arah yang dicari.


Bagaikan orang haus menemukan air, rasa lega dan rasa gembira langsung bergejolak, saling tepuk dan saling adu komentar muncul, ada tawa yang keras, ada ucapan sukur yang terdengar, ada tepuk tangan yang keras dan ada teriakan yang melengking  dan diakhiri dengan segera membuka ponsel dan merubah status di media sosial sambil tersenyum dan penuh suka cita.
masa harus nunggu umur lebih dari setengah abad untuk melihat danau toba “  terdengar suara lirih penuh tekanan kegembiraan.



Memasuki kota Prapat sedikit agar bingung, dimanakah letak pintu masuk danau toba, lalu mencoba menyusuri kota prapat, melintas ditepi danau, mencoba mencari lokasi dimana harus berhenti, beberapa tempat begitu meragukan, halaman hotel juga tidak nampak meyakinkan, lalu ada yang punya usul menuju arah dermaga fery, tetapi ide tersebut ditolak begitu melihat lokasinya, kita tidak ada waktu untuk menyeberang, siapa yang jamin kita bisa kembali pada hari yang sama, padahal besok pagi harus kembali terbang ke Jakarta, akhirnya kembali berputar menuju tepian danau dimana ada gapura dan loket restribusi masuk, seolah yakin disini tempatnya karena tampak beberapa kapal penumpang sandar.
Malu bertanya sesat di toba, begitu kambing hitam perasaan dicetuskan, berpura-pura ikut parkIr dengan kendaraan lain dan mencoba mencari tau sambil seolah-olah sudah tau, akhirnya diputuskan bahwa memarkir kendaraan disini sudah benar.










Tepat jam sebelas siang kamu sudah merasakan goyangan kapal berputar-putar menjemput penumpang di hotel sekitarnya, kadang kembal lagi ketempat semula bila ada tanda-tanda penumpang, tetapi karena rasa gembira yang ada dihari, gaya ngetem kapal tidak lagi dipersoalkan, yang penting sudah di danau toba.
Setelah dirasakan penumpang cukup memenuhi tempat duduk maka, perlahan dan penuh harap penumpang,  kapal mulai menuju ke tengah danau, kilatan lampu kamera, ataupun acungan ponsel mulai ramai , tongkat kamera untuk ber-selfy ria meramaikan bursa gaya.









Sesuai kebiasaan rute kapal sebentar berhenti dilokasi yang dinamakan “batu gantung”  sebuah tempat dengan berbagai macam ceritera yang cukup untuk membuat anggukan kepala atau bisa untuk ditambah-tambah agar kisahnya lebih dramatis,
Hanya beberapa menit kapal kembali berjalan melintasi danau yang berombak lembut menuju pulau samosir dan ceritera lengkap berplesiran kepulau samosir dan danau toba mulai digarap didalam benak 
masing-masing, tidak ada yang melarang untuk menambah ceritera karena kapasitas benak yang berbeda-beda, yang pasti suara awak kapal yang berteriak member peringatan kepada para penumpang setelah kapal merapat ke dermaga Tomok.” silahkan turun dan jam dua nanti kembali ke prapat, yang tertinggal tanggung jawab sendiri “.
























Hanya punya waktu hampir dua jam dipulau samosir berarti harus tau bagaimana dan mau apa dipulau itu dan mengikuti langkah kebanyakan orang, dimulai dengan menyusuri pasar yang menjual beraneka ragam makanan dan pakaian khas pulau ini lalu menuju makan tua raja sidabutar setelah itu mengikuti arah suara musik gondang dimana tarian sigale-gale sedang diperagakan, cukup waktu untuk sedikit melepaskan lelah sambil  menikmati atau ikut menari atau jika tertarik dengan arsitektur rumah asli bisa bergerak bergeser sedikit dari lokasi tarian, sisa waktu masih bisa untuk tawar menawar makanan khas atau pakaian khas sampai kembali lagi ke dermaga dimana kapal sudah menunggu.


























Jam empat siang kami sudah berada dikota Pematang Siantar lagi, berputar kota menikmati sisa waktu dengan kesalahan arah tujuan, toko roti ganda yang terkenal itu tadi pagi terlewati tetapi sekarang untuk mencarinya membutuhkan empat kali bertanya dan dengan penuh perjuangan menyibak punggung ataupun pinggul antrean, akhirnya roti ganda berhasil didapat sebagai oleh-oleh dan sesuai informasi maka makan siang diundur sampai mendapatkan rumah makan yang dimaksud yaitu rumah makan dengan hidangan khas burung sawah goreng yang letaknya sedikit  menuju batas kota Pematang Siantar kearah kembali  pulang dan sesampainya di tempat makan ini dendam lapar cukup terlampiaskan.





Jam Sembilan malam kami sudah berada kembali dikamar hotel di kota medan, bersiap merapihkan oleh-oleh dan pakaian kotor karena besok subuh kehadiran kami di bandara Kualanamu sangat diharapkan, jika tidak maka kami harus mengganti sendiri biaya penerbangan kembali ke Jakarta.