Sabtu, 26 April 2014

To Bacan and other islands, at that time

(my serial journey to Maluku/Moluccas) 
Increasingly difficult  a journey through the sea, increasingly I love the sea,



ke Pulau Bacan.
Kembali aku tidak kebagian tempat duduk dipesawat yang menuju pulau Bacan sehingga aku harus menempunya melalui laut, sebagai orang kota disinilah rupanya aku harus ditantang dan tertantang untuk tidak surut menempuh perjalanan melalui jalur biru laut.
Sesuai yang tertera ditiket kapal akan berangkat jam empat sore tetapi sama juga dengan angkutan umum di Jawa, penambahan penumpang sangat diharapkan oleh pemilik kapal dan itu berarti waktu keberangkatan diundur sampai sipemilik kapal merasakan cukup barulah nakkoda membunyikan peluit tanda kapal akan naik jangkar dan berlayar mengarungi lautan .

Disebut kapal pelayaran rakyat, kapal kayu dengan dua tingkat kamar tidur berisikan empat orang setiap kamar tampa bisa berdiri, aku tidak ingat berapa jumlah kamar tetapi semua terisi penuh termasuk barang-barang yang diletakan diluar kamar atau diburitan dan sekeliling kapal, bila turun kebawah kedalam palka maka tampaklah penumpang yang lebih banyak lagi, mereka yang tidak memesan kamar atau yang tidak kebagian kamar harus rela berdesakan duduk atau tiduran, tidak ada yang berwajah tertekan ataupun kecewa, mereka menikmati dan aku juga menikmakti kekhawatiranku sendiri.

Bagaikan orang yang sering mengarungi laut aku selalu berjalan mondar mandir, pemadangan indah diwaktu senja ketika pulau ternate dan pulau-pulau yang dilewati memberikan suasana pemandangan yang indah diterangi warna jingga matahari dan biru laut sampai saatnya tanda peluit beberapa kali lalu disusul suara azan dari sang nakkoda yang berdiri diatas atap kapal menghadap matahari , waktu magrib sudah tiba, lalu iringan jamaah menyusul satu persatu, sungguh suasana yang mengharukan.





















Memasuki malam aku masih duduk menikmati laut dari ruang kemudi,  ngobrol tentang ketidaktahuanku soal kapal dan laut, soal pelaut dan penumpang sampai soal kota besar dan kota kecil dan ketika perutku mulai terasa mual aku mulau surut tidak banyak  tanya dan jawab, kapal mulai terasa naik turun sebentar oleng kekiri 
dan kanan, konsentrasi nahkoda dan
pembantunya mulai tampak serius dan aku disarankan untuk kembali kekamar agar rasa mualku berkurang.
Dalam langkahku menuju kamar melalui sisi kapal barulah aku menyadari kesendirianku, tidak ada cahaya lain selain cahaya lampu kapal dan bintang dilangit, suara lagu daerah terdengar dari ruang kemudi sampai kedalam kamarku, tetangga tidurku masih mengobrol dan mengajakku untuk bergabung dalam obrolannya sampai saatnya mereka merasa ngantuk dan satu persatu berhenti bersuara meninggalkan aku yang tidak bisa memejamkan mata, suara kerat kayu dinding kapal tersa berirama ketika kapal oleng kekiri kanan atau naik turun, dalam penantian waktu aku kembali keluar kamar tetapi goyang dan oleng kapal semakin terasa dan tampak sesekali batas muka air berada lebih tinggi dari sisi kapal atau kadang jauh dibawah dasar kapal, diruang kemudi tampak wajah-wajah serius berdiri dibelakang kemudi sehingga aku urungkan dan kembali kekamar dan aku cuma berharap waktu cepat berlalu.



 

Pagi hari aku dibangunkan oleh rasa mulas dan mengikuti petunjuk dimana harus melakukan proses alami, menuruni sisi kapal yang sedang berjalan lambat (mesin kapal mati satu katanya) sampailah aku disebuah tempat/koridor  yang memang dibuat khusus disisi kapal, menjorok kebawah dan berada kira-kira setengah meter diatas air laut, disitu ada beberapa orang yang juga berhasrat sama dan secepat itupula aku bisa menyesuaikan diri, jongkok bersama diterpa cipratan air laut sesekali.






Mesin kapal akhirnya mati total sekitar jam tujuh pagi dan kapal berjalan mengikuti arus dan angin yang ada, tidak ada rasa kepanikan dikapal itu kecuali aku sendiri yang berusaha tidak menunjukan rasa kuatir seperti yang lain, aku sempat menengok ke palka dimana mesin kapal berada, beberapa orang sibuk mengutak ngutik mesin, suara canda dan tawa masih terdengar dari penumpang yang berada dipalka.
Kapal terus berjalan pelan tanpa ku tahu apakah arahnya benar sesuai dengan tujuan, aku menyarankan kepada nahkoda untuk membuang jangkar agar kapal tidak terseret arus tetapi dengan penuh senyum dijawab “ tidak mungkin pak, rantai jangkar hanya beberapa puluh meter, tidak akan mencapai karang atau dasar laut disini “ , selebihnya aku lebih banyak bergerombol dengan penumpang lain mencoba menyatukan perasaan yang kusembunyikan, sesekali aku melemparkan sisa-sisa makanan kecil kelaut yang  merangsang ikan besar muncul kepermukaan, diantaranya ada hiu besar yang selalu menampakan diri berkeliling kapal.
Tidak lama kemudian ada aba-aba agar penumpang  turun kepalka, rupanya ada pembagian sarapan, piring plastik berisikan nasi dan potongan ikan tongkol goreng diedarkan estafet, setiap dua puluh piring berhenti dan makan bersama, lalu setelah itu bergantian sampai seluruh penumpang mendapatkan, aku merasakan suasana yang begitu ramah diantara penumpang, bagaikan keluarga besar berpesta melupakan mesin kapal yang mati, demikian juga ketika jam makan siang dan makan malam tiba suasana terus saja gembira apalagi ketika hampir tengah malam mesin kapal berhasil dihidupkan, suasana gembira semakin terasa.


Aku sengaja tidak tidur menikmati suasana malam, kebetulan cuaca cerah dan angin berhembus pelan dan begitu pula dengan ombak laut yang ramah sampai memasuki fajar yang kembali memerah member warna terang dihorison laut, sesekali tampak loncatan ikan lumba-lumba mengiringi jalannya kapal  dan menjelang siang hari kapal memasuki pelabuhan Babang di pulau Bacan, suara teriakan khas menyambut merapatnya kapal ke dermaga dibalas dengan suara peluit kapal berkali-kali, semua gembira, semua selamat .
Setelah makan siang dipelabuhan dan mencari informasi lain aku langsung mencari angkutan umum menuju lokasi yang kutuju, menembus pulau Bacan, menembus hutan, menembus tugas yang harus diselesaikan dan sejak itu kepergianku kepulau-pulau lainnya di Maluku utara menjadi perjalanan yang menyenangkan baik lewat laut maupun udara.







                                                                                                                                                            
Semua kenangan itu (1990-1993) dapat dinikmati melalui foto yang aku ambil memalui kamera analogku dan masih bisa kuselamatkan dari kerusakan penyimpanan, kenangan  di Ternate, Halmahera ataupun perjalanan ke pulau Bacan dan pulau lainnya Semoga keindahan ini tidak hilang ditelan jaman.

Tobelo (Halmahera island) at that time

(my serial journey to Maluku/Moluccas) 


Sedikit ceritera perjalanan di pulau Halmahera ,
Hanya berbekal alamat yang aku tuju dimulailah perjalanan yang cukup menyenangkan untuk dikenang ataupun mungkin diceriterakan, setelah tugasku selesai di Ternate maka perjalanan selanjutnya adalah pulau Halmahera, sebuah pulau besar yang belum banyak informasi yang aku dapat.


Hanya berbekal peta yang kubeli di toko buku dan informasi seadanya yang kudapat dipasar  maka sejak jam lima pagi aku sudah berada dipelabuhan penyeberangan Ternate menuju ke pelabuhan Sidangole di Halmahera, SIdangole adalah pelabuhan kecil yang bersebelahan dengan pabrik pengolahan kayu sehingga keramaian yang ada tidak lebih hanya pada saat jam sibuk pabrik.




















Sambil menikmati sarapan pagi mulailah mengumpul informasi tambahan dan tepat jam 8 pagi  kendaraan satu-satunya yang ada menuju kota Kao sudah dipenuhi penumpang, sebuah mobil kijang pick-up dijelali hampir 20 penumpang termasuk aku.


Tertawa adalah sesuatu hal yang wajib untuk dinikmati diperjalanan, jangan mencoba menggerutu dengan kondisi kendaraan karena itu akan sia-sia dan ikuti saja celoteh penumpang agar ikut tertawa dan mungkin itupulalah yang  membuat perjalanan ini sarat dengan dendam dalam hati.
Sebentar tawa menjadi terhenti apabila laju kendaraan sedikit kencang karena melawati jalan beraspal tetapi kemudian tawa kembali muncul apabila roda mobil berputar pelan dijalan berlubang atau tanah penuh debu dan kadang merayap dilumpur dan tidak jarang menyeberang sungai, inilah jalur trans Halmahera kelak.




Beberapa kali penumpang harus turun dijalan yang menanjak tajam atau menurun tajam, hal ini diharuskan dari pada kendaraan tidak dapat menanjak karena kelebihan beban atau karena sisopir kurang ahli memainkan kopling dan setir yang dapat mencelakakan mobilnya atau penumpang, sebuah kompromi yang tidak tertulis tapi ditaati.






Entah sudah berapa desa dan kota terlewati belum juga ada penumpang turun tetapi yang menarik adalah fungsi angkutan ini juga berfungsi sebagai kurir surat, beberapa kali sisupir memberikan surat atau bungkusan kecil kepada orang yang berdiri ditepi jalan desa atau kampung dan tidak jarang pula menerima surat atau bungkusan untuk diteruskan kedesa atau kampung lain tetapi ada yang membuat perasaan kita menjadi trenyuh ataupun nelangsa, apabila menyaksikan sang supir menolak penumpang yang naik diperjalanan mengingat kapasitas kendaraan tidak bisa lagi memuat tambahan penumpang, dengan sangat sabar sang supir akan menolak dengan janji akan ada kendaraan lain dibelakang, padahal sipenumpang sudah menunggu sejak dua atau tiga hari yang lalu, betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan kendaraan ini.





Aku masih harus tetap mencoba mengikuti irama perjalanan ini, beruntung aku membawa persediaan minum dan makanan sama seperti penumpang lainnya, menikmatinya diperjalanan dan dari setiap penderitaan pasti ada kebahagiaan, ternyata disepanjang perjalanan, kita akan disuguhi oleh pemandangan alam yang indah, hutan, gunung dan laut silih berganti berada disekitar kita, kendaraan lapis baja ataupun kapal perang bekas peninggalan perang dunia kedua berserakan disepanjang pantai  yang indah, tidak perlu penjelasan tetapi mata sudah dapat bercerita mengenai indahnya Halmahera dan sesekali kita juga bisa melihat penduduk asli yang masih menggunakan pakaian tradisional berjalan beriringan ditepi hutan ataupun pantai, sungguh pemandangan yang jarang dilihat.






Memasuki  kota Kao matahari sudah mulai condong ke cakrawala barat dan tidak ada lagi kendaraan yang menuju kota Tobelo sehingga harus transit menginap di kota ini, ternyata ada penginapan walapun kondisinya sangat memprihatinkan dan kali ini aku tidak berani untuk mandi dan terpaksa aku hanya gosok gigi menggunakan air minuman botolan, aku tidak akan bercerita mengenai kondisi mck disini.
Melalui pertolongan seorang transmigran besoknya aku berhasil mendapatkan kendaraan umum pick-up menuju Tobelo, sedikit tentang temanku ini, transmigran asal jawatengah yang sudah tinggal di Halmahera sejak lima tahun lalu dan belum juga menampakan keberhasilan sehingga harus bekerja dikota membiarkan istrinya (dan juga istri-istri transmigran lainnya) menunggu dirumah .
Perjalanan ke Tobelo masih sama dengan perjalanan kemarin dan kali ini aku bisa mendengar cerita lebih tentang suka dan kebanyakan duka para transmigran .

Kota Tobelo cukup ramai dan kehidupan modern sudah mulai merapat kesini termasuk pergaulan membuat aku lebih mudah menyelesaikan tugasku tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya.






Kembali ke Ternate kali ini aku mencoba menggunakan pesawar terbang agar bisa membandingkan sukaduka perjalanan, kali ini jadwal penerbangan sesuai dengan keinginanku walaupun dengan harga yang cukup mahal.

Pilot muda dan ramah kembali menerbangkan burung besi dengan bendera Merpati, cukup nyaman dan menyenangkan, sepanjang perjalanan aku bisa melihat rute perjalanan daratku yang ditandai dengan garis tebal membelah bumi, kadang membelah hutan dan kadang sejajar dengan garis pantai.
Ada kejadian yang cukup menggelikan, aku lupa didaerah/kota mana ketika pesawat harus transit menurunkan penumpang, dengan landasan yang cukup berdebu dan tidak mulus, pilot meluncur menuju keterminal kecil dan dari jendela cabin aku bisa melihat banyak orang berlarian menyongsong pesawat sambil membawa barang bawaannya, seperti pemandangan yang sering aku lihat di Jakarta ketika bis kota memasuki terminal dimana para penumpang berlari saling mendahului menuju bis kota.




Setelah pesawat berhenti  dan teknisi pesawat membuka pintu segera pula dia menutup jalur agar penumpang yang turun dapat leluasa keluar dan begitu dirasakan tidak ada lagi penumpang turun beberapa orang membuka jalan dikerumunan orang yang akan naik, tampaknya ada pejabat daerah yang hrus didahulukan  hal ini dapat diketahui dari baju safari yang dipakai, setelah sang pejabat duduk maka mulailah berdesakan penumpang berebut sampai didalam cabin, setelah semua penumpang duduk barulah suasana kembali tenang, yang tidak mandapatkan tempat duduk turun tetapi tetap menunggu didepan pintu cabin, lalu mulailah dialog terjadi antara si teknisi dengan para penumpang diluar, ternyata semua berharap akan dapat terbang hari ini dan diantara mereka tampaknya juga ada orang penting yang tidak kebagian sehingga dialog agak alot dan memaksa pilot keluar cockpit membantu, lalu negosiasi dilakukan, penumpang yang sudah  baru duduk kembali diabsen dan ada dua orang yang belum berhak duduk sesuai nomor urut daftar penumpang dan dengan berbahasa halus maka kompromi dilakukan, si pilot membisikan sesuatu ke telinga




pejabat yang sudah duduk dan tidak lama kemudian pejabat itu memerintahkan dua orang yang sudah duduk untuk keluar dan digantikan penumpang yang berhak sesuai dengan nomer urut.
Rupanya kejadian seperti ini bukan hal yang aneh disini, keterbatasan komunikasi dan kekuasaan setempat menjadikan kejadian seperti ini tidak bermasalah, dan ternyata memang demikian setelah beberapa kali aku mengalami hal serupa.
Sejak itu seperti ketagihan akan petualangan demikian juga aku tidak pernah menolak untuk penugasan ke Maluku Utara.

Semua kenangan periode 1990-1993 itu dapat dinikmati melalui foto yang aku ambil memalui kamera analogku dan masih bisa kuselamatkan dari kerusakan penyimpanan, kenangan  di Ternate, Halmahera ataupun perjalanan ke pulau Bacan dan pulau lainnya Semoga keindahan ini tidak hilang ditelan jaman.