Sabtu, 19 September 2020

PANDAI BESI

 

Disebut orang pandai

 

Dalam keseharian setiap kali aku berpapasan dengan penduduk selalu mereka membawa parang. sebuah alat yang serbaguna untuk digunakan diladang, sekali pernah suatu ketika disiang hari aku begitu merasa haus, air didalam botol kemasan sudah tidak tersisa lagi, sementara matahari belum saatnya turun menuju barat membuat  e tubuh menjadi hilang yang artinya titik panas tepat berada diatas kepala. Untuk membeli air kemasan harus berjalan kaki hampir setengah kilo dan itu tidak mungkin karena dengan demikian harus menahan rasa haus sambil berjaan kaki setengah kilo dan kembali lagi ketempat semula dengan hal yang sama, sangat tidak praktis dan tidak manja. Beruntunglah sebagai mahluk social dengan talenta yang diberikan pemilik alam, aku mencoba menyapa penduduk yang sedang ada dikebunnya dan dengan sedikit ada tawa dan seloroh seketika saja parang sudah lepas dari sarungnya “ sebentar saya ambilkan “ katanya.

Hanya butuh tidak lebih dari sepuluh menit, buah kelapa sudah pindah dari pohonya dan berada dihadapanku yang menunggu dan duduk dibatu-batu tanggul sungai Palu.

“ di Maku (nama desa)  ini pak, jika bapak haus tinggal minta atau ambil sendiri, kami penduduk sini tidak keberatan asalkan untuk menghilangkan haus, tetapi bukan untuk dijual “ sambil tertawa beliau mengupas kelapa dan diberikannya kehadapanku, begitulah kearifan sebuah desa.

Sambil menikmati kelapa muda dan saling jawab tanya, aku mulai tertarik untuk memperhatikan parang yang dibawa, saya mencoba menimangnya, mencocokan dengan jemari dalam menggemgamnya, sesekali melibaslibaskan untuk menimbang keseimbangan bentuk parang dan ternyata menurutku parang kwalitasnya baik.

“ apa setiap orang punya parang pak “ kataku

dia tersenyum menjawab “ kalo bapak punya pena saya punya parang “

Kesimpulannya hampir semua petani dan peladang mempunya parang dan boleh dikatakan setiap lelaki didesa ini memiliki parang, karena benda itu bagian dari keseharian penduduk.

“ bapak beli dimana ini “

“ oh, ada pandai besi di dekat sini, jika bapak pulang nanti tengoklah disebelah kiri jalan arah pulang ke Dolo, nanti akan kelihatan “ katanya sambil menunjuk kearah utara dimana saya tinggal.

Tanpa terasa pembicaraan harus diakhiri dimana satu buah kelapa, air dan dagingnya sudah masuk kedalam perut, tersisa dua yang sengaja diberikan untuk nanti sore dan setelah itu kami sepakat untuk masing-masing melanjutkan pekerjaannya.

Sore harinya perlahan menyusuri jalan dengan sepeda motor, biasanya kecapatan dijalan arah pulang bisa 40km per jam lebih tapi kali ini  sedikit bersantai sambil ingin membuktikan perkataan penduduk tadi dan benar saja terlihat kilauan dan semburan bara keluar dari sela-sela sebuah gubug yang sebenarnya  sering kulewati hanya saja tidak menjadi perhatian,

Setelah memarkir motor dan mengucapkan salam kepada seseroang didalam lalu saya masuk kedalam gubug.

“mau ambil apa mau bikin “ katanya langsung

Aku sedikit tergagap , kalah cepat dalam bertanya “ eee.. mau bikin “ kataku cepat, maklum saya harus menyesuaikan diri dengan keadaan, rupanya mereka menggunakan moto sedikit bicara banyak bekerja.

“ mau dari besi per atau besi lain “ lanjutnya sambil mengeluarkan beberapa contoh mentah parang.

“ yang ini dari besi apa “ kataku menunjuk salah satu parang yang cukup berat ketika kutimang.

“ ini dari per “

“ berapa harganya “

“ delapan puluh ribu “

Terkaget  lagi aku dalam hati, cukup murah dan untuk tidak kehilangan kesempatan saya langsung menyetujui “ kapan jadinya “

“ ambil hari sabtu ya”

Saya mengangguk setuju, lalu saya serahkan uang seratus ribu dan dikembalikan lima puluh ribu

“ katanya delapan puluh “

“ yang tiga puluh nanti jika sudah jadi “

Ternyata marketinya boleh juga dalam hatiku sambil menerika kembalian.“ ini sudah sama gagang dan sarungnya “

"oh tidak, Saya tidak menyediakan gagang dan sarung" jawabnya "karena itu bukan keahlian Saya" imbuhnya lagi “

Saya terhenyak mendengar jawaban itu, Seorang pandai adalah mereka yang mengenal dirinya sendiri dan tidak akan berpurapura menjadi pandai lain dalam hatiku berkata.

Sebuah pelajaran dari seorang pandai besi hari ini telah menambah perbendaharaan kelakuan sosial dalam kehidupanku.

Beberapa orang sudah menunggu giliran untuk masuk ketika transaksiku selesai dan dari informasi yang aku dapat , tahun demi tahun dilalui sehingga atribut sebagai pandai besi khusus pisau atau parang didapat sekalian dengan lebih ramainya pesanan.